Kamis, 28 Desember 2017

Mengenang kepergian Bunda Hj. Nurbaya Azis, MMG

KETEGARAN SOSOK MURSYID
Coretan dari Dari Serambi Madinah dipenghujung Desember 2017

Beberapa pekan yang silam...duka menyelimuti keluarga besar Warga Paguyuban Seni Beladiri Pernapasan Tapak Wali Indonesia. Dari berbagai penjuru nusantara mengalun doa dipohonkan kepada yang maha agung, agar arwah almarhuma Bunda Guru  Haja Nurbaya Azis, MMG mendapat tempat yang layak dan indah dalam mahligai yang diliputih kasih sayang sang Pencipta.
Innalillahi wainna lillahi rojiun menjadi peringatan bagi hamba yang beriman, bahwa setiap makhluk yang bernyawa akan melewati pintu kematian.  Dan kematian itu adalah rahasia, kedatangannya  tak terduga kapan dan dimana, saat jiwa dan jasad dipisahkan.
Jika demikian adanya, pantaskah hambanya yang lemah berdiri angkuh dengan apa yang diraih dipermukaan bumi tempatnya  berpijak dan menjunjung langit?!

Saat terindah Bunda bersama suami tercinta YM Gubes TWI
Berpulangnya Bunda Hj. Nurbaya adalah cermin bening, untuk mengaca arti kebaikan dan tata krama sebagai seorang isteri, yang setia pendamping kehidupan pendiri dan ketua Umum Paguyuban Seni Beladiri Pernapasan Tapak Wali Indonesia,  Guru Besar Yang Mulia, Almuqarram H. Azis, BE, SE, M.Si, MMG.

Jemari ini nyaris tak mampu menulis, mengungkapkan berbagai kebaikan almarhuma,  meskipun saya mengenal beliau dalam hitungan waktu yang tak lebih dari 5 tahunan.  
Sentuhan kasih seorang bunda sangat terasa ketika berada didekat ibu seluruh warga Tapak Wali Indonesia. Pribadi  yang tak pernah mengenal perbedaan strata sosial, apalagi  menjulangkan  segala limpahan karunia yang dianugerahkan kepada keluarga besar, Guru besar Tapak Wali Indonesia.

Senyum adalah bahasa universal yang tak butuh baca dan tulis,  selalu menghiasi dan memaknai wajah sang Mursyid dan isteri tersayang. Setiap  kehadiran mereka selalu membawa keteduhan dan menebar aroma kebaikan, sehingga  bersemayam dan mengakar dalam kalbu setiap muridnya. 

Saat Kedatangan YM Gubes  di Provinsi Gorontalo dalam rangka pewisudahan wraga TWI
Senin   25 Desember 2017, pukul 19.05 wita,  saya larut dalam kesedihan, disaat memeluk
Yang Mulia Guru Besar, dalam kunjungan  pewisudahan warga Tapak Wali Indonesia didaerah yang dijuluki Serambi Medinah. Bahkan kesedihan warga TWI Gorontalo belumlah pupus, meski sekalipun mereka belum pernah  bertemu dengan bunda Hj.
Bertemu dengan yang mulia Guru Besar kali ini, saya larut dalam keharuan, hati ini  semakin  tunduk dan kagum melihat ketegaran sang Mursyid, justru berbalik menghibur duka kami, bahwa berpulangnya almarhum bunda Guru adalah janji mutlak tak bisa dirubah oleh siapapun.
Kata sejuk mengalir dari bibir yang selalu bertengger senyuman, sejuk dan damai memeluk erat batin siapa saja yang mendengar nasehat dan kata bijak beliau. Hakekat rasa yang mampu merahasiakan kodratnya sebagai manusia, ketika lelah dan penat menderah, setelah mengarungi lautan dan menyusuri ribuan kilometer jalan yang berkelok, semata mengemban amanah didalam menebar kebaikan dipenjuru nusantara.
Seolah waktu tak pernah berhenti, dan terlalaikan,  guna memenuhi tanggung jawab besar yang diusung selaku pendiri dan ketua Umum Tapak Wali Indonesia. Kesenangan duniawi tak lagi sebuah tuntutan, setiap dentang detik bernilai  ibadah,  dan tidak diperuntukan mengejar surga dan menghindari ancaman neraka. Bait kalimat yang selalu terucap pada  setiap pembahasan “Wahai murid-muridku, jangan kotori hati kita dengan keinginan untuk meraih surga dan takut kepada neraka, tapi takutlah pada Allah, karena  hanya padanya kita mohon ridha dan pertolongan. Sebaik-baik langkah adalah mengarah kepadaNya.” Sorga dan neraka adalah hak prerogatif dan dalam kekuasaanNYa. Lantas bagaimana hambanya setiap ibadahnya, hanya karena surga? Meskipun penciptaan manusia sempurna dari makhluk lainnya, tak lagi berarti, sangatlah kecil bahkan tidak sebanding dengan setitik debu di padang pasir yang luas.
Pada pembahasan masa pewisudahan kali ini, bait kata sangat meresap pada hati warga TWI Gorontalo, hingga mobil Fortune yang bernomor Polisi DT 1 NA membawa Sang Mursyid berlalu mengarah selatan Sulawesi.


Dipenghujung coretan ini...saya menitip asa pada saudara-saudaraku warga TWI di Gorontalo, bahwa pencapaian ilmu dan perubahan sikap kearah yang lebih baik, tidak membutuhkan ungkapan pengakuan, selain menuntut perbuatan baik (Af’al) dalam rangka menebar kebaikan diserambi Medinah, dengan harapan bertambah lapangan gerak Tapak Wali Indonesia diKota Gorontalo dan sekitarnya...Insya Allah